Sabtu, 29 Agustus 2009

sepotong kisah di Yarmuk

Suasana di Yarmuk pagi itu cukup menegangkan. Kedua pasukan sudah saling berhadapan. Pasukan itu adalah pasukan Islam 40.000 orang dibawah komando Khalid bin Walid dan Abu Ubaidah sementara pasukan yang satunya adalah pasukan Romawi 240.000 orang dibawah pimpinan jenderal Theodore.

Tradisi sebelum perang dimulai adalah mengadakan pertandingan satu lawan satu.

"Majukan prajurit terbaikmu, kita adakan pertandingan satu lawan satu. Kalian akan merasakan kehebatan prajurit Roma yang terbaik!" tantang Theodore.

Saat itu pasukan Islam diwakilkan oleh Yazid untuk berhadapan dengan wakil dari Roma. Kemudian takdir Allah memenangkan Yazid.

Tiba-tiba muncul seorang prajurit yang maju membawa panji-panji pasukan Romawi. Prajurit berbaju zirah itu maju dengan gagah berani. Serentak bersamaan dengan majunya lelaki tersebut, seluruh pasukan Romawi terdengar gemuruh sorak dan tepuk tangan. Tampaknya lelaki tersebut adalah seorang prajurit andalan yang sangat dikagumi oleh para prajurit Romawi karena keberanian dan kehebatannya. Majunya lelaki tersebut membuat seluruh prajurit yakin bahwa kemenangan akan mereka raih.

"Nama saya Gregorius Theodorus, dalam bahasa arab disebut Jirjah Tudur. Saya belajar bahasa arab dari suku Ghasan. Saya ingin menantang Khalid bin Walid bertanding satu lawan satu!"

Khalid bin Walid segera turun dari kuda, "Wahai kepala besi, saya terima tantanganmu!"

Khalid bin Walid memanggilnya kepala besi karena kepala prajurit Romawi itu memakai penutup kepala dari besi, sedangkan ia hanya memakai sorban. Kemudian keduanya terlibat pertarungan sengit.

Ditengah denting pedang keduanya, tiba-tiba Gregorius bertanya kepada Khalid, "Bisakah kita berhenti sebentar?"

"Mengapa kita harus berhenti?" Khalid bertanya balik

"Ada yang ingin aku tanyakan kepadamu Khalid, aku minta engkau menjawab pertanyaanku dengan jujur" pinta Gregorius dengan nada tegas

"silakan" balas khalid

"Benarkah engkau mendapat julukan sebagai pahlawan Pedang Allah?"

"Benar"

"Benarkah Tuhanmu turun dari langit dengan membawa sebilah pedang lalu diserahkannya kepadamu?"

"Itu kabar bohong" jawab khalid tegas

"Lalu mengapa saudara dijuluki pahlawan Pedang Allah?"

"Tuhan kami mengutus seorang Rasulullah Muhammad kepada negeri kami. Awalnya saya juga penentangnya, tetapi kemudian saya mendapat petunjuk dari Allah dan saya menjadi pendukungnya. Pada suatu hari Rasulullah bersabda tentang saya, katanya saya adalah sebilah pedang dari pedang-pedang Allah yang terhunus kepada kaum musyrik" jelas khalid

"Rasulullah berdoa kepada Allah SWT agar saya selalu diberi kemenangan ketika berperang untuk menegakkan agamanya. Karena itulah akhirnya saya dijuluki sebagai Pedang Allah."

"Apa yang engkau serukan kepada manusia semasa menjalankan tugas yang dibebankan kepadamu sebagai panglima perang, khalid?"

"saya menyeru agar mereka mau bersaksi bahwa tiada Tuhan yang disembah selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah"

"Bagaimana jika mereka menolak seruanmu, khalid?" tanya Gregorius penuh rasa ingin tahu

"Mereka harus membayar jizyah/pajak"
(seperti kita ketahui, khalid menerapkan jizyah sebesar 1 dirham atau Rp 40.000 per bulan kepada warga persia. Saat itu warga persia yang tidak bersedia masuk islam pun bersuka cita, karena pajaknya jauh lebih kecil daripada Raja mereka terdahulu. Bahkan sepertinya jauh lebih kecil daripada pajak kita sekarang)

"Bagaimana jika mereka tidak mau juga?" lanjut Gregorius

"Kami akan memerangi mereka"

Melihat kedua panglima tersebut asyik bercakap ditengah medan laga, timbul tanda tanya diantara kedua pasukan. mereka menafsirkan menurut versinya masing-masing.

"Mungkin khalid sedang berunding dengan lawannya, kita biarkan saja mereka" gumam seorang prajurit

"Gregorius adalah seorang yang bijak, mungkin dia sedang bernegosiasi dengan Khalid" ujar Theodore. walau dihatinya tetap bertanya-tanya mengapa mereka berbicara lama sekali.

Mereka pun lanjut bertarung, walau sudah tidak seseru pertandingan sebelumnya.

kemudian sekali lagi pertandingan berhenti

"Khalid, saya ingin bertanya lagi"

"silakan" jawab khalid

"Jika hari ini ada orang menerima seruanmu dan memilih tawaran pertama yang engkau tawarkan tadi, bagaimana derajat orang itu di kalangan orang Islam?"

Khalid bin Walid terkejut. dia mulai paham mengapa Gregorius banyak bertanya. Khalid memuji Allah SWT dalam hatinya, sungguh hanya Allah-lah yang berkuasa untuk melembutkan hati hamba-Nya yang keras.

"Kedudukan setiap muslim itu sama. Islam tidak membedakan derajat seseorang berdasarkan kemuliaan, kehinaan, kemiskinan, atau kekayaan" jawab khalid

"Apakah orang yang baru memeluk Islam pada hari ini juga mendapat pahala dan kedudukan yang sama dengan saudara di sisi Tuhan?

"Gregorius, bahkan mereka lebih mulia dari kami, begitu menurut sabda Rasulullah" terang khalid

"Mengapa mereka yang baru masuk Islam lebih mulia, padahal kalian terlebih dahulu memeluk Islam?"

kemudian khalid menjawab,
"Kami pernah hidup bersama Rasulullah dan bisa melihat langsung kemuliaan dan mukjizat yang dimilikinya. Jadi, jika kami beriman kepada Allah itu wajar saja karena kami menyaksikan sendiri kebesarannya. Tetapi bagi mereka yang belum pernah bertemu Rasulullah, lalu menerima dan memeluk Islam dengan ikhlas, sungguh mereka lebih dimuliakan daripada kami"

"Benarkah yang kau katakan Khalid? Engkau tidak berbohong dan tidak sedang membujuk saya?" lanjut Gregorius.

Kemudian Gregosius berkata,
"Demi Tuhan, saya menyambut seruanmu Khalid, Asyhadualla ilaahaillallahu wa asyhadu anna muhammadarrasulullah... saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah..."

Allahu Akbar!

"Alhamdulillah. Gregorius saat ini engkau adalah saudara kami. Dan engkau tidak boleh kami bunuh" sambut khalid

keduanya saling bersalaman dan berpelukan. semua prajurit merasa aneh dengan kejadian tersebut. Mereka bertanya dalam hati apakah yang sebenarnya terjadi di tengah medan laga itu.

*dari buku khalid bin walid pedang allah yang terhunus

Jumat, 28 Agustus 2009

Suatu saat di camp pasukan Romawi

Perang Yarmuk baru saja usai dengan kemenangan gilang gemilang tentara Islam melawan Romawi. Saat itu tentara Islam berjumlah 40.000 orang dimana romawi berjumlah 240.000.

Sebelumnya kekuatan dunia ada pada dua Negara superpower, yakni Persia dan Romawi. Persia baru saja berhasil dibebaskan melalui panglima besar Islam, Khalid bin Walid

Maharaja Hercules (Heracles) menyambut kepulangan tentaranya dengan murka. Ia merasa sangat malu.

“Kalian adalah tentara yang tidak berguna! Bagaimana kalian bisa dikalahkan oleh tentara islam? Bukankah mereka seperti kamu juga, berasal dari golongan manusia?”

Marahnya tidak tertahankan. Kekalahan itu membuat dirinya malu. Hatinya sangat sakit ketika tentara Romawi kalah di tangan tentara Islam. Karena ia berpikir bahwa tentara Islam tidak memiliki kelebihan apapun. Tentara Islam tidak sebanding dengan tentaranya. Namun yang pasti adalah tentara Islam itu berhasil mengalahkan tentaranya!

“Benar Tuanku” Jawab Vartanius, pengganti Jenderal Theodore (adik dari Heracles) yang terbunuh oleh Khalid bin Walid ra. Dia terlihat sedikit takut dengan kemarahan yang terlihat jelas di wajah Maharaja Heracles.

“Pasukan mana yang lebih banyak diantara kalian?” Tanya Maharaja Hercules lagi. Kemarahannya semakin memuncak.

“Jumlah kami lebih banyak dari mereka” jawab Vartanius sambil menundukan kepalanya. Dia benar-benar takut untuk menyatakan kebenaran. Namun itulah kenyataannya. Dia sendiri heran bagaimana tentara Islam yang sedikit itu mampu mengalahkan mereka yang jumlahnya lebih banyak.

“Tentara Islam benar-benar hebat!” Dalam diam Vartanius mengakui kebenaran itu.

“Senjata siapa yang lebih hebat dan banyak?” Maharaja Hercules terus bertanya. Perasaan kesalnya memuncak, apalagi setelah mengetahui jumlah tentaranya lebih besar, berhasil dikalahkan oleh tentara Islam yang lebih kecil jumlahnya.

“Senjata kami lebih banyak dan hebat” Jawab Vartanius. Saat itu bahkan Romawi menurunkan pasukan gajahnya.

Suaranya yang bergetar ketakutan jelas terdengar. Dia benar-benar takut apa yang dikatakannya bias menambah kemarahan Maharaja Hercules

“Bagaimana kalian bisa kalah?” teriak Maharaja Hercules

Suaranya bergema. Tubuh panglima Vartanius terdorong ke belakang. Hatinya seperti mau luruh!
Vartanius hanya diam. Dia tidak berani lagi membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Maharaja Hercules. Kedua bibirnya bagai terkunci rapat. Tubuhnya mulai dibanjiri keringat.

“Adikku, panglima Theodore turut terbunuh. Tentara kita banyak yang mati. Kita dikalahkan tentara Islam. Mengapa semua ini bisa terjadi?” Tanya Maharaja Hercules lagi.

Perasaan kecewa mulai menyelinap ketika teringat adiknya yang mati. Hatinya juga sakit ketika mengenang kekalahan yang mengorbankan banyak tentaranya. Dia mengeluh dengan kuat.

“Mengapa semua ini terjadi?” jeritnya lagi

Tidak ada seorang pun yang berani menjawab pertanyaannya. Panglima Vartanius juga tidak mampu memberikan alasan. Untuk menatap wajah Maharaja Hercules pun ia tidak berani karena kemarahan yang terlihat di wajahnya.

Tiba-tiba berdiri seorang tentara yang paling tua

“Tuanku, tentara kita berperang dengan suatu kaum yang berpuasa pada siang hari dan beramal ibadah pada waktu malam. Mereka berpegang teguh pada janji, saling berkasih sayang sesame mereka bagaikan saudara. Mereka senantiasa mengerjakan kebaikan dan tidak melakukan kemungkaran.” Dia berkata dengan jujur

“Sedangkan tentara kita suka minum arak, melakukan zina, selalu ingkar janji, suka berbuat jahat, dan melakukan kezaliman. Karena itulah kita kalah” Dia menguatkan diri agar dapat mengatakan hal itu di hadapan Maharaja Hercules. Walaupun sedikit gemetar karena ketakutan, tetapi dia dapat menjelaskan keadaan yang sebenarnya dengan baik.

Maharaja Hercules diam. Dalam hatinya, dia mengakui kebenaran kata-kata lelaki tua itu.

“Dari awal saya ingin berdamai, tetapi kalian bersikeras ingin berperang dengan mereka! Inilah balasannya!” Begitu kata Maharaja Hercules

Referensi : Khalid bin Walid, pedang Allah yang terhunus karya Abdul latip Talib.

Selasa, 25 Agustus 2009

Hamzah bin Abdul Muthalib r.a. (6)

Kemenangan yang nyata

Dengan masuk Islam Hamzah r.a., menjadi sejarah pertama bahwa harga diri seorang budak tidak boleh dilecehkan oleh majikannya. Allah SWT. menghendaki kemuliaan agama Islam dengan sebab Hamzah r.a. masuk Islam. Oleh karena itu, Allah membuka hati Hamzah untuk masuk Islam dan berpegang teguh kepada fondasi agama yang kuat. Hal itu juga menjadikan kaum Muslimin bisa memandang dirinya mulia.

Selain itu, dengan ke-Islaman Hamzah r.a. orang-orang Quraisy mengetahui bahwa Rasulullah saw. Telah kuat dan mampu melakukan perlawanan karena Hamzah yang akan melawannya. Hal itu membuat mereka menghentikan sebagian perbuatan jahat yang telah mereka lakukan terhadap Rasulullah saw..

Hamzah r.a. memang tidak mampu mencegah semua bentuk penyiksaan kaum Quraisy. Namun dengan ke Islaman Hamzah r.a., bisa menjadi pelindung bagi banyak orang untuk masuk ke dalam agama Allah. Tidak dapat dimungkiri, bahwa ke-Islaman Hamzah r.a. benar-benar merupakan kemenangan yang nyata bagi Islam dan pengikutnya.

Selasa, 18 Agustus 2009

Suatu hari di Mekah

Muhammad bin Abdullah menyatakan dirinya Nabi dan Rasul utusan Allah swt. Mendengar itu, Abdullah bin ‘Utsman –lebih masyhur dengan panggilan kuniyahnya: Abu Bakar—menemui Rasulullah saw. untuk menyatakan keimanannya keada Rasulullah saw. Setelah berhadapan dengan Rasulullah saw., Abu Bakar berkata, “Wahai Abu Al-Qasim –ini kuniyah Rasulullah saw.–, engkau tampaknya tidak mendapat dukungan dari kaummu, dan mereka menuduhmu telah menghina nenek moyang mereka dan tidak menghormati pandangan dan keyakinan mereka.”

Rasulullah saw. menjawab, “Aku ini Rasulullah. Dan aku akan mendoakanmu kepada Allah.”

Setelah Rasulullah saw. selesai berdoa, Abu Bakar menyatakan diri masuk Islam. Betapa bahagianya Rasullah saw. atas masuk Islamnya Abu Bakar. Setelah itu Abu Bakar pergi. Ia menemui Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin ‘Awam, Sa’ad bin Abi Waqash. Abu Bakar mengajak mereka masuk Islam. Mereka semua menyatakan keislamannya.

Keesok harinya Abu Bakar mendatangi Utsman bin Mazh’un dan Abu Ubaidah bin Jarah. Abu Bakar mengajak keduanya masuk Islam. Kedua orang ini pun masuk Islam.

Ketika para sahabat telah berjumlah 38 orang, Abu Bakar mendesak Rasulullah saw. untuk mendakwahkan Islam secara terang-terangan. Mendengar pemintaan itu, Rasulullah saw. menjawab, “Wahai Abu Bakar, golongan kita jumlahnya masih sangat sedikit.”

Namun Abu Bakar terus-menerus mendesak Rasulullah saw. untuk berdakwah secara terang-terangan, sehingga pada akhirnya Rasulullah saw.pun setuju melaksanakannya. Para sahabat menyebar di berbagai penjuru Masjidil Haram. Setiap kelompok dipimpin oleh satu orang. Kemudian Abu Bakar berpidato di hadapan orang-orang, sementara Rasulullah saw. duduk memperhatikannya.

Abu Bakar adalah orang yang pertama kali berpidato di hadapan khalayak ramai. Ia secara terang-terangan mengajak khalayak ramai untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Mendengar itu, kaum musyrikin marah. Mereka mengumpat dan mencaci maki Abu Bakar dan kaum muslimin secara umum. Lalu mereka beramai-ramai memukuli kaum muslimin yang bertebaran di penjuru masjid. Mereka juga memukuli Abu Bakar.

Utbah bin Rabi’ah menghampiri Abu Bakar, lalu menghantamkan kedua sandalnya ke wajahnya. Utbah melempar sendalnya dan mengenai perut Abu Bakar.

Abu Bakar menerima banyak pukulan di sekujur tubuhnya. Hidung dan wajah Abu Bakar bersimbah darah. Untung, Bani Taim menolongnya. Orang-orang yang memukulinya pun berhamburan menjauhi Abu bakar. Bani Taim membawa Abu Bakar ke rumahnya. Setelah yakin Abu Bakar tidak tewas, mereka kembali ke Masjidil Haram mendatangi orang-orang musyrikin.

Kepada orang-orang musyrikin, Bani Taim berkata, “Demi Allah, seandainya Abu Bakar mati, niscaya kami akan membunuh Utbah.” Setelah itu mereka kembali melihat kondisi Abu Bakar sambil melontarkan caci makian kepada Utbah. Mereka berpesan kepada Ummu Khair binti Shakhar bin ‘Amir, ibunda Abu Bakar, “Tolong perhatikan, apakah engkau memiliki makanan dan minuman untuknya.”

Setelah orang-orang Bani Taim pergi, Ummu Khair menghampiri Abu Bakar, Abu Bakar bertanya kepada ibunya, “Bagaimana keadaan Rasulullah saw.?” Ibunya menjawab, “Demi Allah, aku tidak mengenal temanmu itu.” Lalu Abu Bakar berkata, “Tolong Ibu pergi ke rumah Ummu Jamil bin Al-Khaththab. Tanyakan kepadanya tentang keberadaan Rasulullah saw.”

Ummu Khair segera pergi menemui Ummu Jamil. Kepada Ummu Jamil, ia berkata, “Abu Bakar memintaku untuk menanyakan kepadamu tentang keberadaan Muhammad bin Abdullah.” Mendengar itu Ummu Jamil menjawab, “Aku tidak kenal dengan Abu Bakar dan Muhammad bin Abdullah. Tetapi, jika engkau tidak keberatan untuk membawaku ke hadapan anakmu, maka lakukanlah.” “Baiklah,” tukas Ummu Khair.

Kemudian kedua wanita itu pergi mendatangi Abu Bakar yang ketika itu sedang merintih kesakitan. Melihat hal itu, Ummu Jamil menjerit sehingga mengagetkan Abu Bakar. “Demi Allah, suatu kaum telah melakukan tindakan yang tidak terpuji, yang biasa dilakukan oleh orang-orang fasik dan orang-orang musyrik. Aku berharap semoga Allah membalas perlakuan mereka terhadapmu,” kata Ummu Jamil.

Namun, Abu Bakar justru bertanya tentang keadaan Rasulullah saw. “Bagaimana keadaan Rasulullah?” Ummu Jamil menjawab, “Ini ibumu, dengarkanlah.” Kemudian Abu Bakar bertanya, “Apakah ibu tidak mengetahui keadaannya?” Maka Ummu Jamil berkata, “Beliau selamat dan tidak terjadi apa-apa dengan beliau.” Lalu Abu Bakar bertanya, “Dimana dia sekarang?” “Beliau ada di rumah Al-Arqam,” jawab Ummu Jamil. Mendengar jawaban ini Abu Bakar berkata, “Allah telah melarangku menikmati makanan dan minuman sebelum bertemu dengan Rasulullah saw.”

Kemudian setelah situasi sudah tenang dan jalanan telah lenggang, Ummu Jamil dan Ummu Khair secara diam-diam memapah Abu Bakar hingga sampai ke hadapan Rasulullah saw.

Rasulullah saw. dan semua kaum muslimin yang tengah berada di tempat itu segera menyambut Abu Bakar dan berkumpul mengelilinginya. Rasulullah begitu sedih dan prihatin melihat kondisi Abu Bakar yang babak-belur. Abu Bakar berkata, “Aku tidak merasakan apa-apa selain perasaan sakit akibat pukulan yang dilakukan orang-orang musyrikin di atas wajahku. Inilah ibuku yang telah menyelamatkan anaknya, dan engkau orang yang paling diberkati. Karena itu, aku berharap sudilah kiranya engkau memintanya untuk beriman kepada Allah dan berdoa kepada Allah dengan harapan Allah menyelamatkannya dari api neraka.”

Rasulullah saw. pun berdoa untuk keselamatan Ummu Khair, lalu mengajaknya untuk masuk Islam. Ummu Khair, ibunda Abu Bakar, pun masuk Islam. Mereka tinggal bersama Rasulullah saw. di rumah Al-Arqam selama sebulan. Ya, seluruh kaum muslimin yang berjumlah 39 orang berkumpul di rumah Al-Arqam selama sebulan.

Pada hari Abu Bakar mendapat siksaan kaum musyrikin, Hamzah bin Abdul Muthalib menyatakan dirinya masuk Islam. Kemudian Rasulullah saw. berdoa kepada Allah swt. untuk keislaman Umar bin Khaththab dan Abu Jahal bin Hisyam. Ternyata yang masuk Islam adalah Umar bin Khaththab. Rasulullah saw. memanjatkan doa itu hari Rabu dan keesokan harinya di hari Kamis Umar menyatakan diri masuk Islam.

Mendengar kalimat syahadat dari lisan Umar, Rasulullah saw. mengumandangkan takbir. Segenap kaum muslimin yang berada di rumah Arqam pun ikut bertakbir, sehingga gemanya terdengar sampai dataran tinggi kota Mekkah.

Pada suatu hari Umar berkata kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulullah, kenapa kita mesti bersembunyi-sembunyi mendakwahkan dan menjalankan agama kita, padahal agama kita itu agama yang benar, sementara mereka (orang-orang musyrikin) berani secara terang-terangan mendakwahkan agama mereka padahal agama mereka itu batil?”

Rasulullah saw. menjawab, “Jumlah kita masih sedikit dan kamu telah menyaksikan penderitaan yang kami terima akibat menyatakan keimanan.”

Kemudian pada suatu hari Umar pergi thawaf di Baitullah. Ia berpapasan dengan kaum Quraisy yang ternyata sedang menunggu kedatangannya. Ketika Umar lewat di hadapan mereka, Abu Jahal bin Hisyam spontan bertanya kepadanya, “Seseorang telah menerangkan bahwa kamu telah berpaling dan meninggalkan agamamu?” Umar menjawab, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba-Nya dan Rasul-Nya.”

Mendengar jawaban itu, kaum musyrikin dengan serta merta melompat dan menyerang Umar. Namun Umar dengan cepat melompat dan balas menyerang Utbah bin Rabi’ah. Umar berhasil menamparkan jari-jari tangannya ke arah dua mata Utbah. Utbah menjerit kesakitan.

Melihat kejadian itu, orang-orang musyrikin lari ketakutan. Mereka menghindari diri dari serangan Umar. Akhirnya tidak ada seorang pun yang berani mendekati Umar. Mereka lari menjauhi Umar. Kemudian Umar mendatangi tempat-tempat pertemuan yang pernah didatanginya yang dulu ia di sana membicarakan berbagai macam kekufuran. Kali ini ia datang ke sana untuk menjelaskan tentang keimanan.

Setelah melakukan itu semua, Umar mendatangi Rasulullah saw. secara terang-terangan. Orang-orang Quraisy hanya bisa melihat dari kejauhan. Kepada Rasulullah saw., Umar berkata, “Demi Allah, tidak ada satu majelis pun yang pernah aku datangi pada masa lalu di mana di dalamnya dibicarakan masalah kekufuran, melainkan aku telah menjelaskan di dalamnya tentang masalah keimanan tanpa ada rasa takut dan khawatir sedikitpun.”

Kemudian Rasulullah saw. pergi didampingi Umar dan Hamzah bin Abdul Muthalib untuk melaksanakan thawaf di Baitullah. Beliau mengerjakan shalat Zhuhur secara terang-terangan, dan setelah itu Rasulullah saw. pun pulang ke rumahnya.

Kamis, 13 Agustus 2009

Hamzah bin Abdul Muthalib r.a. (5)

Hamzah r.a. Berada di jalan yang benar

Ketika malam tiba, Hamzah r.a. merasa sangat gelisah. Ia tidak pernah merasakan kegelisahan seperti yang terjadi pada malam itu. Mungkin itu terjadi karena bisikan setan dan terlalu banyak beban yang ia pikirkan. Ketika datang waktu pagi, ia pergi mendatangi Rasulullah saw. dan bertanya kepadanya, “Keponakanku, aku sedang berada dalam sebuah masalah yang sepertinya tidak ada jalan keluarnya. Beritahukanlah kepadaku apa yang tidak aku ketahui. Apakah itu sebuah petunjuk atau malah kesesatan yang jauh? Katakanlah, karena aku sangat menginginkan kamu mengatakannya kepadaku, keponakanku!”.

Kemudian, Rasulullah saw. mendekati Hamzah seraya mengingatkan, menasihati, dengan adanya neraka dan memberikan kabar gembira dengan adanya surga. Akhirnya, Allah SWT. menganugerahkan keimanan ke dalam hati Hamzah terhadap apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw.

Dengan izin Allah SWT, Hamzah r.a. mengucapkan syahadat dengan sungguh-sungguh, penuh kemantapan, serta keyakinan yang teguh, “Aku bersaksi dengan sebenar-benarnya, bahwa engkau itu benar. Maka siarkanlah agamamu, keponakanku! Demi Allah, aku tidak ingin langit menaungiku sementara aku masih memeluk agamaku yang dahulu.”

Minggu, 02 Agustus 2009

Hamzah bin Abdul Muthalib r.a. (4)

Berpikir dan Merenung

Setelah kejadian tersebut, Hamzah r.a. kembali ke rumahnya. Kemudian, setan datang menggoda dan berkata kepadanya, “ Kamu adalah pemimpin Quraisy! Kenapa kamu mengikuti ajaran anak laki-laki itu (Muhammad) dan meninggalkan agama nenek moyangmu? Sepertinya kematian itu lebih baik bagi mu dari apa yang telah kamu perbuat.”

Kemudian, Hamzah r.a. berbalik bertanya kepada dirinya sendiri, “Apa yang telah aku perbuat?” Lalu ia mengulang-ngulang memori dalam pikirannya tentang kejadian yamg baru saja terjadi. Bagaimana ia menyatakan keislamannya? dan kapan?

Hamzah r.a. menyatakan beriman dalam keadaan spontan karena perasaan antusias, bercampur marah, dan atas dorongan emosi. Ia merasa sakit hati ketika keponakannya disiksa dan diperlakukan tidak adil, tanpa ada seorang pun yang menolongnya. Oleh karena itu, ia sangat marah. Demi menjaga kemuliaan Bani Hasyim, ia berani melukai kepala Abu Jahal dan berteriak menyatakan masuk Islam di hadapannya. Memang pada kenyataannya ia tidak pernah meragukan kebenaran dankesucian tujuan keponakannya, Muhammad saw.. Akan tetapi, apakah mungkin, seseorang dapat dengan mudahnya menerima agama baru dengan semua bentuk tanggung jawab yang harus dilaksanakan dalam waktu sekejap dan dalam keadaan emosi seperti yang ia lakukan.

Hamzah r.a. adalah sahabat yang terkenal memiliki akal yang cerdas dan kecondongan hati yang lurus. Karena itu, dalam setiap masalah ia selalu berusaha untuk menyelesaikan dengan pikiran yang jernih dan dengan pertimbangan yang matang.

Akhirnya, ia menghadapkan wajahnya ke langit. Dengan keadaan merendahkan diri dan sepenuh hati, ia memohon kepada Allah SWT. Dan berdoa, “Ya Allah ya Tuhanku, jika ini adalah petunjuk dari-Mu maka teguhkanlah hatiku. Namun jika bukan, maka tunjukkanlah hamba-Mu ini jalan keluar yang terbaik.”